Berita
Politik
Humaniora
Ekonomi
Hiburan
Olahraga
Lifestyle
Wisata
Kesehatan
Tekno
Media
Muda
Green
Lipsus
Fiksiana
Freez
Artikel
Sejarah
Sejarah Revolusi Indonesia di Sekitar Lahirnya Republik Indonesia
OPINI | 22 May 2011 | 07:39 Dibaca: 2528 Komentar: 0 Nihil
Ketika kita
gunjang ganjing tentang reformasi bangsa Indonesia dan juga dalam rangka
kita memperingati hari kebangkitan nasional, barangkali tidak
terbayangkan bagaimana Indonesia itu terjadi melalui Revolusi Indonesia.
Revolusi Indonesia tidak terlepas dari pergolakan yang terjadi didunia
internasional. Pergolakan politik dunia dibelahan dunia Barat menjadi
biang keladinya adalah Negara Jerman yang melakukan invasi oleh pemerintahan
Nazi Hitler dengan serangan Blits Kriegnya mula-mula melanda negeri
Belanda pada tanggal 10 Mei 1940, sehingga pemerintah Belanda melarikan
diri ke London untuk bergabung dengan sekutu dan menjadi pemerintah
pelarian, sampai dengan tahun 1941 Pearl Harbour, Teluk Mutiara diserang
Jepang hingga pecah perang Pasific, pemerintah pelarian Belanda pun
turut menyatakan perang terhadap Jepang.
Invasi Jepang di
Asia Timur dan Tenggara sungguh menggetarkan tak dapat diduga bahkan
mampu menundukkan kekuasaan Barat. Setelah Singapura jatuh ditangan
militer Jepang, maka kedudukan pemerintahan Hindia Belanda tak dapat
dipertahankan lagi. Serbuan tentara Jepang di Indonesia pada permulaan
bulan Maret tahun 1942, dimana pada waktu itu berhadapan dengan armada
laut Belanda di lautan jawa, ternyata Belanda tidak mampu
mempertahankan pemerintahan Hindia Belanda dan ia dipaksa menyerah pada
tanggal 8 Maret 1942. Syarat-syarat penyerahan itu diumumkan oleh
Komando Angkatan Darat Jepang di lapangan terbang Kalijati dekat
Bandung, pada waktu itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir yang
bernama Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer yang ditawan Jepang sekaligus
pertanda berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Indonesia ibarat
lepas dari mulut buaya masuk kecengkraman harimau, karena rakyat
Indonesia setelah ini dibawah pemerintahan Nippon Jepang. Rakyat
Indonesia berada pada persimpangan jalan yaitu dihadapkan pada dua
tujuan perang yaitu propaganda sekutu disatu pihak dan dipihak lain
propaganda perang oleh kekuatan-kekuatan Axis ( Jerman-Italia-Jepang),
Rakyat Indonesia berada dibawah negeri penjajah baru dibawah genggaman
kekuasaan militer Jepang. Padahal sebelum invasi militer Jepang rakyat
Indonesia mendekati masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Banyak
pemimpin pergerakan Indonesia mengalami masa pembuangan atau dipenjara
oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melumpuhkan aktivis politik bangsa
Indonesia yang menghendaki kemerdekaannya.
Selama 10 tahun
terakhir dari jatuhnya kekuasaan Belanda dengan pemerintahan Hindia
Belandanya yaitu tahun 1932–1942, pemimpin-pemimpin gerakan nasional
Indonesia berusaha untuk membujuk pemerintah Belanda memberikan
latihan-latihan militer kepada orang-orang Indonesia untuk memberikan
kemampuan membela tanah air dalam keadaa perang. Saat itu suhu politik
dunia semakin menegang terutama didaerah Pasifik, keadaan keuangan
ekonomi Belanda mengalami depresi ditandai dengan jatuhnya wall Street
tahun 1929, untuk memperbaiki depresi tersebut maka pemerintah Belanda
berusaha menstabilkan situasi social dan politik di negeri jajahannya
dengan menunjuk dua gubernur jenderal secara
berturut-turut, melakukan penindasan dan menjaga arus ekonomi dari
Belanda ke Indonesia tetap lancar dan menjamin pengangkutan melalui
pengapalan bahan mentah terutama rempah-rempah berjalan terus dengan lancar.
Tanpa
stabilitas social, politik di Hindia Belanda maka keadaan ekonomi akan
lebih memburuk dan hal ini akan mempengaruhi negeri Belanda itu sendiri
yang memerlukan bahan-bahan mentah bagi kegiatan industerinya yang
semakin meluas. Kedua Gubernur Jenderal tersebut adalah Mr.B.C. de jonge
(1931-1936) dan Mr.A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
(1936-1942). Mereka berdua ini melaksanakan tugas tidak mudah,
menghadapi persoalan-persoalan dalam negeri yang berdimensi luas, dengan
meningkatnya situasi suhu politik didaerah Pasific. Menghadapi desakan
dari Jepang yang memerlukan minyak dalam jumlah yang lebih besar. Jepang
menampakkan gejala yang mencurigakan bagi pemerintah Belanda yang
sedang bersiap-siap untuk perang atau melakukan ekspansi keselatan.
Kecurigaan terhadap politik Jepang semakin nampak dengan menyusun
strategi mendobrak tembok pengepungan politik dan militer kekuatan
Amerika,Inggris, Tiongkok dan Belanda yang disebut dengan kekuatan
A-B-C-D.
Bagaimanapun pemerintah Belanda masa itu merasa cukup aman menghadapi keadaan politik internasional didaerah
Pasific dengan adanya front persatuan kekuatan-kekuatan A-B-C-D.
Semenjak tahun 1930 an gerakan kebangsaan untuk kemerdekaan terhenti,
karena tindakan-tindakan pemerintah colonial berupa penindasan,
rapat-rapat umum dilarang, kemerdekaan pers dibatasi. Aparatur keamanan
diberi kewenangan untuk menutup rapat-rapat partai, dan melakukan
penangkapan terhadap pembicara yang pidatonya bersifat menghasut atau
profokatif. Pemerintah Hindia Belanda memberikan hak kepada petugas
keamanan yang disebut dengan “hak-hak luar biasa”(exorbitante Rechten).
Setiap orang yang dipandang oleh pemerintah membahayakan ketertiban
umum, setiap saat dapat ditangkap dan dikirim ke kamp-kamp tawanan di
“Boven Digul, Irian Jaya atau ketempat salah satu pembuangan lainnya.
Mohamad Hatta dan Sjahrir pemuda-pemuda Indonesia dibuang ke Boven
Digul, Sukarno ke pulau Flores, Iwa Kusuma Sumantri dan Dr. Tjipto
Mangunkusumo ke Banda Neira,Maluku. Walaupun partai buruh Belanda
mengajukan sebuah resolusi disebut resolusi Kramer untuk membatalkan
tindakan-tindakan tersebut karena melanggar hak asasi manusia, namun
resolusi tersebut ditolak.
No comments:
Post a Comment